
Membinatangkan Manusia Lewat Pendidikan
17 June 2020
Edit
NASIONALACEH.com
– Potret buram
pendidikan kini mulai bergeming lagi. Seperti dilansir dari berbagai sumber,
ada seorang mahasiswa di Makassar yang tewas karena terjatuh dari menara masjid
di tempat kelahirannya. Seperti diketahui, korban memanjat menara masjid pada
Rabu (6/5/2020) malam, untuk sekedar mencari sinyal internet agar bisa
menyelesaikan tugas kuliah onlinenya. Pasalnya, di kampung halaman korban
ternyata dikabarkan masih sulit terjangkau oleh jaringan internet seluler.
Salah satu rekan
seperjuangan beliau pada Jumat (8/5/2020), juga sempat memberikan pernyataan
bahwa korban memanjat mencari jaringan internet seluler untuk menyelesaikan
tugas perkuliahan online dan tidak sengaja menginjak tripleks dan balok rapuh
di atas menara masjid sehingga terjatuh dan meninggal dunia. Mendengar hal
tersebut, Penulis merasa sangat prihatin dan menyatakan bahwa fasilitas negara
seperti jaringan internet yang sudah seharusnya dinikmati oleh seluruh elemen
sipil ternyata belum sepenuhnya bisa dirasakan, terlebih untuk masyarakat yang
tinggal jauh dari hiruk pikuknya peradaban kota besar. Dalam hal ini, negara
harus bertanggung jawab atas ketidakadilan yang dirasakan oleh anak bangsa
dalam mewujudkan pendidikan di tengah pandemi dengan membuat berbagai inovasi
untuk menunjang pendidikan di tengah pandemi.
Ternyata tak
hanya itu, pada hari Kamis (2/4/2020), seorang mahasiswi di Makassar juga
dikabarkan bernasib yang sama dan meninggal dunia usai terlibat kecelakaan lalu
lintas saat ingin mencari lokasi yang jaringan internetnya lancar agar bisa
berkuliah online. Mahasiswi yang diketahui sedang menempuh perkuliahan di
semester dua tersebut harus meninggal di kampung halamannya. Yang menjadi
pertanyaan bagi kita semua, sudahkah kita peduli sepenuhnya dengan nasib
pendidikan?. Atau sebaliknya, apakah pendidikan hanya menjadi pajangan
alih-alih menunggu pemasukan dari mahasiswa pada tiap semesternya?. Jangan
sampai pendidikan malah membinatangkan manusia dengan mengesampingkan
nilai-nilai kemanusiaan.
Memang benar
adanya, maut memang tak bisa diprediksi, setiap manusia pasti akan mati. Namun,
kematian yang diakibatkan oleh masalah sepele semacam jaringan internet apakah
mampu membuka mata hati kita untuk prihatin dengan nasib di negeri ini?. Jangan menunggu
nasi berubah menjadi bubur agar hati kita mau peduli akan hak ini. Pada tanggal
17 Agustus 1945 nanti, Indonesia akan menginjak usia ke-75 tahun, maka dari
segi kacamata pendidikan sudah seharusnya permasalahan ini dibenahi, apalagi
kondisi pandemi yang belum dapat diprediksi kapan akan berakhir. Sebaiknya,
fasilitas publik lebih diperhatikan di daerah pelosok dan sulit terjangkau oleh
kehidupan modern, karena dari sanalah bibit-bibit unggul para pemimpin bangsa
di masa depan juga berhak untuk merasakan nikmat kemerdekaan di era 4.0 ini.
Untuk mengatasi
permasalahan ini, dibutuhkan solusi yang kongkrit dan sinergisitas antara pusat
dan daerah-daerah serta kampus terkait, salah satunya seperti menyediakan
kendaraan berteknologi yang dilengkapi dengan fasilitas internet serta bisa
bermobilisasi dari satu titik ke titik yang lainnya. Tentunya, ini akan
memudahkan para anak bangsa dalam melanjutkan pendidikannya dengan lancar tanpa
harus takut sulitnya mengakses jaringan internet. Apalagi harus takut dengan
ancaman kematian saat sedang berjuang menuntut ilmunya!. Ini sudah era 4.0,
bahkan bangsa lain akan mempersiapkan era 5.0, maka sudah seharusnya kita sadar
dengan permasalahan yang serius ini dan jangan sampai ada lagi anak bangsa yang
menjadi korban dan menjadi potret buram pendidikan selanjutnya.
Di sisi lain,
kampus juga harus paham dengan kondisi setiap mahasiswanya. Konteks paham di
sini adalah memahami bahwasanya tidaklah semua mahasiswa mampu berkompetisi
secara adil untuk saat ini. Mereka ada yang
tinggal di daerah pegunungan, pesisir pantai, di tengah hutan bahkan ada
yang di pulau terpencil! Bagaimana mungkin mereka bisa disamakan dengan para
mahasiswa yang tinggal di pusat kota besar yang jaringan internetnya sangatlah
memadai dan lancar serta ketersediaannya layanan publik yang begitu unggul?
Berbeda halnya jika pada saat kondisi normal, yang dimana seluruh mahasiswa
berada pada satu titik atau daerah tempatnya menjalani perkuliahan di kampus
untuk menuntut ilmu maupun berkompetisi secara fair.
Dosen selaku
tenaga pengajar, juga harus memberikan kelembutan nuraninya demi terciptanya
rasa aman pada jiwa mahasiswa selaku anak-anak didiknya. Penulis pernah
mengadakan sebuah Diskusi Online terkait permasalahan ini pada beberapa waktu
lalu dengan seorang Dosen asal Bireuen, Aceh, dan seorang penulis buku populer
yang juga berasal dari kalangan akademisi di Kota Banda Aceh. Pada saat
berdiskusi, mereka menyatakan bahwa mereka tidak pernah memberatkan para
mahasiswanya dan memahami nasib setiap mahasiswa tidaklah sama saat sedang
menempuh studi di tengah pandemi ini. Oleh karena itu, pentingnya pengertian
dari segala pihak untuk mendukung penuh mahasiswa dalam keadaan genting seperti
ini.
Jika Dosen
mengesampingkan 'ego' dan lebih mengutamakan aspek kekeluargaan kepada
mahasiswa, maka jangan ragu bahwa para mahasiswa akan selalu mendukung dan
mendoakan Dosennya. Sudah seharusnya untuk saat ini, semua pihak harus saling
mengerti dan men-support demi terwujudnya kelancaran proses pendidikan. Ingat, kematian
pendidikan merupakan mimpi buruk yang tak ingin dilihat oleh semua orang,
matinya pendidikan maka matinya peradaban. Mari kita akhiri potret buram
pendidikan dengan mulai mempersiapkan solusi dan inovasi untuk jangka panjang.
Keadilan pendidikan harus segera diwujudkan dan ditegakkan. Akhir kata, salam
hormat dari Penulis untuk kalian yang masih berjuang menempuh pahitnya
pendidikan, tetap semangat dan jangan mudah menyerah dalam pertempuran demi
meraih gelar Sarjana. Wassalam.